*Retno..*
 



“Bisa saya melihat bayi saya?” pinta seorang ibu yang baru melahirkan penuh kebahagiaan. Ketika gendongan itu berpindah ke tangannya dan ia membuka selimut yang membungkus wajah bayi lelaki yang mungil itu, ibu itu menahan nafasnya.

Dokter yang menungguinya segera berbalik memandang ke arah luar jendela rumah sakit. Bayi itu dilahirkan tanpa kedua belah telinga! Waktu membuktikan bahwa pendengaran bayi yang kini telah tumbuh menjadi seorang anak itu bekerja dengan sempurna. Hanya penampilannya saja yang tampak aneh dan buruk.

Suatu hari anak lelaki itu bergegas pulang ke rumah dan membenamkan wajahnya di pelukan sang ibu yang menangis. Ia tahu hidup anak lelakinya penuh dengan kekecewaan dan tragedi. Anak lelaki itu terisak-isak berkata, “Seorang anak laki-laki besar mengejekku. Katanya, aku ini makhluk aneh.”


Anak lelaki itu tumbuh dewasa. Ia cukup tampan dengan cacatnya. Ia pun disukai teman-teman sekolahnya. Ia juga mengembangkan bakatnya di bidang musik dan menulis. Ia ingin sekali menjadi ketua kelas. Ibunya mengingatkan, “Bukankah nantinya kau akan bergaul dengan remaja-remaja lain?” Namun dalam hati ibu merasa kasihan padanya.

Suatu hari ayah anak lelaki itu bertemu dengan seorang dokter yang bisa mencangkokkan telinga untuknya. “Saya percaya saya bisa memindahkan sepasang telinga untuknya. Tetapi harus ada seseorang yang bersedia mendonorkan telinganya,” kata dokter. Kemudian, orangtua anak lelaki itu mulai mencari siapa yang mau mengorbankan telinga dan mendonorkannya pada mereka. Beberapa bulan sudah berlalu. Dan tibalah saatnya mereka memanggil anak lelakinya, “Nak, seseorang yang tak ingin dikenal telah bersedia mendonorkan telinganya padamu. Kami harus segera mengirimmu ke rumah sakit untuk dilakukan operasi. Namun, semua ini sangatlah rahasia,” kata sang ayah.

Operasi berjalan dengan sukses. Seorang lelaki baru pun lahirlah. Bakat musiknya yang hebat itu berubah menjadi kejeniusan. Ia pun menerima banyak penghargaan dari sekolahnya. Beberapa waktu kemudian ia pun menikah dan bekerja sebagai seorang diplomat. Ia menemui ayahnya, “Yah, aku harus mengetahui siapa yang telah bersedia mengorbankan ini semua padaku. Ia telah berbuat sesuatu yang besar namun aku sama sekali belum membalas kebaikannya.” Ayahnya menjawab, “Ayah yakin kau takkan bisa membalas kebaikan hati orang yang telah memberikan telinga itu.” Setelah terdiam sesaat ayahnya melanjutkan, “Sesuai dengan perjanjian, belum saatnya bagimu untuk mengetahui semua rahasia ini.”


Tahun berganti tahun. Kedua orangtua lelaki itu tetap menyimpan rahasia. Hingga suatu hari tibalah saat yang menyedihkan bagi keluarga itu. Di hari itu ayah dan anak lelaki itu berdiri di tepi peti jenazah ibunya yang baru saja meninggal.
Dengan perlahan dan lembut, sang ayah membelai rambut jenazah ibu yang terbujur kaku itu, lalu menyibaknya sehingga tampaklah… bahwa sang ibu tidak memiliki telinga. “Ibumu pernah berkata bahwa ia senang sekali bisa memanjangkan rambutnya,” bisik sang ayah. “Dan tak seorang pun menyadari bahwa ia telah kehilangan sedikit kecantikannya bukan?”





Kecantikan yang sejati tidak terletak pada penampilan tubuh namun di dalam hati.
Harta karun yang hakiki tidak terletak pada apa yang bisa terlihat, namun pada apa yang tidak dapat terlihat.
Cinta yang sejati tidak terletak pada apa yang telah dikerjakan dan diketahui, namun pada apa yang telah dikerjakan namun tidak diketahui.














Regard's...



*Retno..*
 
Bapakku.....
Mungkin tidak seperti ayah-ayah yang lain, menurutku beliau begitu berbeda.
Memang bapakku seorang pegawai biasa yang bergaji normal-normal saja. Karir demi karir dijalaninya, pergi pagi, pulang sore, bahkan sampai malam tanpa mengenal lelah. Pagi-pagi sekali, bapakku sudah bangun, sementara kami masih terlelap dalam mimpi-mimpi dan bunga-bunganya tidur, dipulau kasur yang tak bertepi, tak berbatas, selain hanya menambah kenyeyakan mata saja.


Dan tak jarang bapak membangunkan kami agar segera bangkit dari pulau empuk itu, mandi, berwudhu dan shalat, juga menyuruh kami membersihkan kasur, tak jarang juga beliau melipat selimut-selimut kami, karena terkadang kami begitu malasnya sehingga tak sempat kami mengangkatnya, hanya tangan bapak yang ringan, kuat dan tegar saja yang mampu melipat semua itu dengan begitu rapinya.

Bapakku sering menjadi imam diantara kami, mendidik kami menjadi anak-anak yang berakhlak baik, tegar dan sabar dalam menghadapi setiap cobaan, hidup dalam kemuliaan, bersikap baik sesama manusia dan binatang, juga ciptaan Allah lainnya, walaupun bapakku bukanlah tamatan sekolah tinggi di negeri ini namun beliau sangat cerdas & berwawasan luas.


Kalau bapakku sedang sakit, biasanya ia sangat manja dengan mamaku yang dengan sabar melayani bapak yang terbaring dikasur, menyediakan teh hangat, soup sayuran, walau tidak pakai daging, atau ayam, maklumlah hidup seorang pegawai biasa, sangat sulit untuk membeli daging dan ayam yang mahal-mahal.

Makanan kami seringnya tempe, tahu, ikan asin, ikan teri kecil-kecil saja, namun tetap juga kami sehat, karena bapak selalu melarang kami untuk makan yang siap jadi (instant), atau makan dijalanan, karena bapakku bilang kurang terjamin kesegaran dan khasiatnya.

Bapakku memang jarang, bahkan tidak suka makan diluar, direstoran, kedai-kedai, sukanya makan dirumah, masakan mamaku yang sederhana, tetapi segar. Kata bapak masakan mama jauh lebih nikmat dibandingkan makanan direstoran Padang itu.
hahahahaa... bapakku memang pemuji ulung kalau lagi menghargai hasil kerja mamaku.



Bapakku pernah bercerita Sebelum bapakku bekerja disalah satu instansi pemerintah, ia dulunya pernah bekerja sebagai tukang angkat batu bangunan. Sungguh menyedihkan, terkadang membayangkan kaki bapak sampai luka-luka, tangannya kasar akibat berteman dengan pekerjaan kasar semacam itu dan sempat pula bapakku menjadi pegawai cleaning service di salah satu perusahaan di surabaya. namun beliau tetap tabah dan sabar.
Begitulah hari demi hari dilalui bapak, sampai datanglah tawaran untuk menjadi anggota Tamtama AD  Karir ayahku dimulai dari pangkat Prada, Pratu, Praka, Kopda, Koptu, & Kopka.


Kini bapak sudah tua, kulihat keriput diwajahnya, namun masih tetap nampak bersih dan bersinar. Beliau masih rajin shalat dan kemesjid, walau matanya sudah mulai rabun.
sampai sekarang bapak masih giat bekerja, rajin beribadah, dan mendidik kami anak-anaknya yang sudah beranjak dewasa.



Kenapa aku sayang ayahku ??
Karena beliau membuatku aman & nyaman..

Kenapa aku sayang bapakku ??
karena beliau mengajarkan kedermawanan padaku..


Kenapa aku sayang bapakku ??
karena beliau panutanku untuk hidup toleran..


Kenapa aku sayang bapakku ??
karena beliau selalu memberikan nasehat2 bijak padaku..

Kenapa aku sayang bapakku ??
karena beliau menjadi imam dalam keluarga..


Kenapa aku sayang bapakku ??
karena beliau mengispirasiku untuk selalu rendah hati..


Kenapa aku sayang bapakku ??
karena beliau selalu memberi tanpa pamrih..


Kenapa aku sayang bapakku ??
karena beliau sahabat terbaikku...



Kenapa aku sayang bapakku ??
karena setiap orang sayang pada ayahnya, apalagi Aku......












Regard's...



















*Retno..*
Dont Judge Me - Rahim Kawooya

Posted using ShareThis